SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA

Minggu, 15 Desember 2013

Hal Bersuci (Thaharah) dan Berbagai Macam Air

BAB
HAL BERSUCI (THAHARAH) DAN BERBAGAI MACAM AIR
Thaharah (kebersihan atau kesucian) lahiriah dan batiniah adalah sesuatu yang amat dipentingkan dalam ajaran Islam. Firman Allah SWT : “Sesungguhnya Allah menyukai orang orang yang suka bertaubat dan yang suka menyucikan diri.” (QS, Al-Baqarah 2 :222). Sabda Nabi SAW “Kebersihan adalah setengah bagian dari keimanan.(HR Muslim dan Tirmidzi). Sabda beliau pula, “ Sesungguhnya Allah adalah Mahabaik lagi menyukai kebaikan. Dia adalah Mahabersih lagi menyukai kebersihan.Dia adalah Mahadermawan lagi menyukai kedermawanan. Maka bersihkanlah halaman rumah-rumah kalian, dan jangan menyerupai kaum Yahudi. (HR Tirmidzi)
Dalam istilah fiqih (ilmu yang membicarakan tentang hukum hukum Islam) Thaharah dibedakan menjadi dua bagian yaitu Thaharah lahiriah dan Thaharah hukmiyah
1.      Thaharah lahiriah atau yang disebut suci dari najis, meliputi kebersihan tubuh, pakaian dan tempat salat dari segala sesuatu yang najis yakni yang dianggap kotor oleh agama (tentang zat-zat najis akan diuraikan kemudian)
2.      Thaharah hukmiyah atau yang disebut suci dari hadas, meliputi wudhu dan mandi wajib.
Hadas kecil adalah keadaan tubuh seseorang yang menyebabakan ia tidak boleh salat, tawaf, dsb, sebelum berwudhu. Sedangkan hadas besar (atau janabat) adalah keadaan tubuh seseorang yang menyebabkan ia tidak boleh salat, membaca Al-Quran dsb, sebelum ia mandi. Ketentuan-ketentuan tentang hadas kecil dan hadas besar akan diuraikan kemudian secara lebih rinci.

Macam-macam Air dan Pembagiannya
Alat utama untuk bersuci dari najis dan bersuci dari hadas adalah air bersih. Untuk mengetahui apa saja yang dimaksud dengan air bersih, di bawah ini akan diuraikan lebih lanjut.
1.      Air yang suci dan menyucikan. Yaitu air yang masih asli dan belum berubah warnanya, baunya, dan rasanya. Contoh : air hujan, air laut, air danau, air sumur, dsb. Semua air tersebut adalah suci dan menyucikan. Suci karena boleh diminum, dan menyucikan karena boleh digunakan untuk berwudhu, mandi wajib atau menyucikan kembali sesuatu yang telah tersentuh najis.
2.      Air yang suci tetapi tidak menyucikan. Yaitu air bersih yang telah bercampur dengan suatu zat yang suci, sedemikan rupa hingga warna, bau, dan rasanya sudah tidak dapat lagi disebut air biasa (atau air mutlak dalam istialh fiqih). Contoh : air the, air gula, air kopi, dsb. Air seperti itu, walaupun suci (boleh diminum) tapi tidak menyucikan. Yakni tidak sah digunakan untuk wudhu, mandi wajib karena telah mengalami perubahan cukup besar dalam warna atau bau atau rasanya.
Dikecualikan dari ini, perubahan yang terjadi atas air yang disebabkan oleh sesuatu yang memang tidak terpisah darinya. Misalnya, perubahan warna, bau dan rasa pada air yang lama tergenang atau mengalir diantara batu belerang, atau karena ikan ikan di dalamnya, atau sesuatu yang sulit dicegah seperti daun daun yang berjatuhan dari pohon-pohon sekitar air tersebut. Air seperti ini, walaupun telah mengalami perubahan, namun masih dianggap suci dan menyucikan.
Termasuk juga dalam kategori air suci dan menyucikan, air yang dalam istilah ilmu fiqih disebut air musta’mal. Aur musta’mal adalah ‘air sedikit’ bekas dipakai untuk bersuci (berwudhu atau mandi wajib). Air seperti ini, masih tetap boleh digunakan lagi untuk bersuci, selama tidak mengalami perubahan dalam salah satu dari ketiga sifat utama (yakni warnanya, baunya dan rasanya). 1
3.      Air yang tersentuh benda atau zat najis. Air seperti ini banyak ataupun sedikit, tetap dinilai suci menyucikan selama tidak rusak salah satu dari ketiga sifatnya yang asli (yakni warna, bau dan rasanya) 2


1) Ketentuan tentang ‘air sedikit bekas pakai’ (atau air musta’mal) seperti diatas, adalah sesuai dengan madzhab Malik, Daud Azh-Zhahiri dan juga sebagian kecil dari kalangan ulama madzhab Syafi’i. Sedangkan mayoritas ulama madzhab Syafi’i, demikian pula Abu Hanifah dan Ahmad bin Habal berpendapat bahwa air seperti itu ---- meski tetap suci ---- namun tidak sah digunakan untuk berwudhu atau mandi.
        Adapun yang dimaksud air sedikit tersebut diatas, merurut Syafi’I adalah yang kurang dari ‘dua qullah’ (yakni kurang dari kira-kira duaratus liter). Atau menurut madzhab Hanafi, air sedikit adalah air yang apabila salah satu ujungnya digerakan, ujung lainnya ikut bergerak. Berdasarkan pendapat ini, jika seseorang hendak berwuhu dengan air sedikit seperti itu, sebaiknya menggunakan gayung untuk mengambil air tersebut, lalu menuangkan di atas anggota tubuh yang harus dibasuh.
2) Begitu sesuai dengan madzhab Malik, Al-Auza’iy, Sufyan Ath-Tsauriy, Daud dan Ibnu Mundzir (salah seorang tokoh dari madzhab Syafi’i). Dan begitu pula pilihan Al-Ghazali dalam Al-Ihya ; dan Ar-Ruyaniy dan Al-Hilyah dan Al-Bahr.
Akan tetapi menurut mayoritas ulama madzhab Syafi’i, hukum seperti itu hanya berlaku pada air yang melebihi ‘dua qullah’ (atau lebih dari duaratus liter). Sedangkan jika air hanya sedikit (atau kurang dari duaratus liter), maka jika tersentuh zat najis secara otomatis air itu dianggap najis, walaupun tidak mengalami perubahan apa pun. Dalil mereka hadis Nabi SAW “Apabila air mencapai dua qullah maka ia tidak terpengaruh oleh sesuatu yang najis”. HR.Syafi’i Ahmad dan Tirmidzi. Kesimpulan yang dapat ditarik dari hadis ini adalah, apabila air itu kurang dari dua qullah, maka ia menjadi najis jika tersentuh zat najis walaupun ia tidak mengalami perubahan. (Lihat An-Nawawi, Al-Majmu’ II/161)


Sumber : Fiqih Praktis I Oleh Muhammad Bagir

0 komentar:

Posting Komentar